Kamis, 04 Oktober 2012

Nostalgia Melankolis

Posting berikut bakalan sedikit lebih mellow dari biasanya. Bear with me!

Depot Cak Koting, Toko Mutiara, jembatan layang Lempuyangan, foto kopi Minolta.. Gambar-gambar tersebut berlintasan di kepalaku. Rute rumah eyang-kampus sudah jadi rutinitas tiap hari. Ahh, Jogja.. Betapa aku sangat rindu padamu. Aku juga tidak tahu mengapa kharisma sebuah kota bisa membuatku se-mengharu-biru ini. Konyol, pikirku..

Semua di mulai ketika aku dilahirkan, di kota itu, di rumah sakit dekat bundaran UGM. Tentu aku sudah lupa saat itu. Yang kuingat adalah kehangatan rumah eyang putri dan eyang kakung. Yang kuingat adalah aroma kayu bakar yang sering beliau pakai untuk menghangatkan air mandiku. Iya, walaupun eyang punya kompor, tapi untuk memasak air mandi eyang pakai tungku kayu bakar. Aku tidak tahu mengapa, tapi itulah yang selalu beliau lakukan. Tungku itu terletak di belakang dekat kandang ayam, dibangun dari tumpukan batu bata merah. Pancinya besar sekali, mungkin diameternya sekitar 70-an senti, warnanya hitam karena sudah kena jelaga. Lalu ada si gayung warna hijau yang gagangnya disampung dengan pipa paralon sehingga panjang, pas untuk menciduk air panas.

Aku selalu ingat saat eyang kakung meracik lintingan rokok miliknya. Kadang pakai kertas rokok putih, kertas rokok coklat, bahkan beberapa kali pakai pembungkus daun tembakau. Di atas sebuah kertas\beliau menyusun sejumput tembakau, potongan cengkeh, dan entah bahan apa lagi yang beliau iris-iris lalu ditaburkan di atasnya. Aku selalu menanti saat itu, saat dimana eyang melinting rokok kemudian memotong ujungnya sedikit untuk disulut. Dan kepulan asap itu keluar dari mulutnya, yang kadang ia bentuk lingkaran untuk menghiburku. Aku pun tertawa, mencoba menangkap lingkaran tadi.

Aku selalu ingat saat pamanku mengajak berkeliling Pasar Ngasem. Kadang alasannya mau beli ikan, kadang lihat-lihat kelinci, pernah juga beli kura-kura. Iya, si om pencinta binatang. Bau pasar itu tidak seperti bau pasar lain, baunya bau dedak dan pelet, panganan hewan. Di kanan dan kiri jalan penuh gantungan sangkar burung. Suara siul burung pun sahut menyahut. Kadang bisa lihat pertunjukan gratis adu ayam. Sehabis itu biasanya om akan mengajak keliling keraton, ke Tamansari atau benteng Vredeburg. Kata om, dulu tempat ini adalah tempat raja-raja.

Gambar diambil di sini

Masih teringat SD-ku kala itu, Taman Muda Taman Siswa. Ya, sekolahnya Ki Hadjar Dewantara. Dengan pendopo besar di depan, setiap kali pelajaran seni tari kami selalu berlarian di atasnya. Sambil menyanyikan tembang dolanan, sementara Ni Duryati--begitu kami memanggilnya, menyelaraskan tempo. Yo pro konco dolanan nang njobo, padang bulan padange kaya rino.. Rembulane ne.. sing awe-awe, ngelingake ojo podho turu sore... Semboyan sekolah kami seolah terpatri di dalam hatiku, terngiang sampai ke tanah perantauan.
Ing ngarso sung tulodho
Ing madya mangun karso
Tut wuri handayani
Begitu membekas peristiwa-peristiwa itu sampai tergetar rasa hati ingin kembali. Tak sabar rasa menanti bulan November. Jogjakarta aku kembali.


Regards,
Wida


2 komentar:

  1. Oooh cuti Nov itu mo ke Jogja toooh... Aku belom pernah ke Jogjaaaa.. Kapan ah kesana ngajak Remy..

    BalasHapus
  2. iyaa, bechuuul! Ada kawinan,biasaa.. Ayo ke jogjaa..

    BalasHapus