Minggu, 09 September 2012

Kisah Bantal Dacron


Hai, benda membal! Sudah saatnya aku bertegur sapa denganmu. Walau kau tak menjawab, hanya diam, pasrah menjadi tempat tumpuan dadaku kini. Kudengar kau terbuat dari semacam serat poliester yang namanya bahkan tidak bisa kueja dengan benar. Yang kutahu pasti dari sebuat situs ensiklopedi, nama bahan pengisimu PETE* (persis seperti makanan kegemaranku). Biarlah kupanggil kau begitu, tak apa kan..
PETE, apa kabar kau kini? Sudah satu setengah bulan aku tidak menyentuhmu, menelusupkan tangan di bawah badanmu ketika hendak tidur. Rupanya kau masih sama seperti sedia kala, lentur dan lembut memanjakan. Sungguh aku merindukanmu.
Tahukah kau mengapa aku bergitu merindukanmu? Mari kuceritakan apa yang terjadi selama satu setengah bulan itu.
Di daerah pesisir kabupaten Cilacap, aku menginap di salah satu rumah penduduk dalam rangka kuliah kerja kesehatan masyarakat. Tentu aku tidak bisa mengelak, ini panggilan tugas fakultas, PETE. Begitupun rumah yang akan kutinggali, aku tak dapat memilih. Jujur, aku tidak mempunyai bayangan sama sekali bagaimana tempat itu nanti.

Alhamdulillah, setelah tiba dan melihat kamarku, aku bersyukur. Di Binangun rupanya kami ditempatkan pada keluarga yang cukup berada. Bayangkan, alas tidur yang disediakan tuan rumah untuk kami berupa queen size spring bed. Persis seperti di rumah eyang, PETE! Aku girang bukan main, kasur itu cukup besar untuk memuat aku dan seorang kawanku, bahkan ia ternyata sangat nyaman ditiduri. Hanya saja.. Aku tidak menjumpai bantal sepertimu di sana.

Yang aku jumpai adalah dua buah bantal kapuk dan satu buah guling kapuk. Kapas, kapuk, kapas kapuk, Ceiba pentandra .. aku merapalnya berulang-ulang. Lalu berpikir apa yang akan terjadi nanti malam..
Dan benar saja, malam itu aku sesak napas bukan main. Menarik dan menghembuskan satu napas terasa bagaikan menarik gerobak di tengah tanjakan. Belum lagi suara bengek yang keluar dari kerongkongaku, terdengar seperti lengkingan seruling bernada sumbang. Oh, Tuhan.. yang kutakutkan sedari tadi terjadi sudah. Asmaku kambuh. Dan malam ini, inhalasi salbutamol menyelamatkanku hingga aku kembali dapat tertidur pulas.
Malam berikutnya, aku tidur tanpa bantal dan guling sambil berharap semua akan baik-baik saja. Namun kenyataannya, kejadian bengek itu terulang lagi. Kali ini disertai batuk berdahak yang tak kunjung berhenti. Inhalasi salbutamol (seperti halnya short acting beta-agonist lain) hanya menyelamatkanku selama empat jam. Selanjutnya, aku harus mengulang kembali dosis obat tersebut. Ahh, jadi persisten namanya kalau begini. Harus pakai inhalasi steroid berarti..

PETE, kau tahu.. Di dalam tas kecilku, aku selalu membawa dua benda itu, salbutamol inhalasi dan budesonide dry powder inhalasi. Yang satu beta-agonis, yang lain kortikosteroid. Mereka sungguh bersinergi, PETE. Maka mulai malam ini aku akan memadu mereka untuk menjaga saluran napasku.
Malam pertama, aku tidur pulas.. Sepertinya mereka sukses, PETE. Aku sungguh lega..
Malam kedua, kembali terlelap nyenyak.. Apa kubilang PETE, mereka memang dua sejoli, dwi tunggal, mimi lan mintuno!

Malam ketiga, tidurku nyaris tak terusik... Ahh, alhamdulillah... Paginya aku bangun dengan segar, muka sumringah, merasakan kualitas tidur yang setara seperti di rumah.
Seperti biasa aku kemudian mengambil air bening karena haus. Apa yang selanjutnya terjadi sebenarnya sudah kuprediksi, tapi tak dinyana akan secepat ini kurasakan. Saat menenggak air, kerongkonganku terasa tercekat. Terasa nyeri saat menelan.. Wah wah wah, jangan-jangan ini akibat efek samping steroid...
Maka serta merta aku berdayakan keterampilan fisik diagnostikku. Ketemu! Kelenjar getah bening submandibulaku membengkak! Ini tanda infeksi, PETE. Sepertinya kuman-kuman di kerongkonganku berpesta-pora saat ini. Kuman-kuman itu girang karena aku terus-terusan menghisap kortikosteroid. Budesonide itu melemahkan sistem pertahanan lokal di kerongkonganku. Agaknya cincin Waldeyer-ku melemah, maka drainasenya lari ke bawah. Kelenjar getah bening submandibulaku kena getah! Bagaimana ini, PETE!

Ahh, hari-hari selanjutnya aku harus memutar otak, mencari akal untuk menurunkan frekuensi pemakaian budesonide.. Tapi tetap memaksimalkan potensinya. Beberapa kali aku harus berjingkat masuk ke ruang obat Puskesmas sehabis piket di poliklinik. Membuat resep untuk diri sendiri. Lendirku menguning, PETE.. Ini pasti ulah bakteri. Maka aku bom mereka dengan ciprofloxacin!Dan untuk sesak napasku, aku harus beberapa kali pula meresepkan aminofilin untuk diri sendiri. Terus begitu setiap minggu di Binangun.

Kenapa jadi rumit begini... PETE, andai kau di sini, tentu semua tak harus terjadi bukan.

PETE, aku tahu kita tak pernah bicara. Mungkin suatu hari nanti saat amalanku dihisab, barulah kau angkat suara. Entah membelaku, atau menjatuhkanku. Yang jelas, sekarang aku menyadari, betapa berartinya kau bagiku. Tak hanya untuk menyerap derai tangisku dan menelan mentah-mentah liurku.. Kau bahkan selama ini menjaga saluran napasku karena sistem pertahanan tubuhku telah bersahabat denganmu.

Gambar diambil dari sini


*Polyethylene terephthalate
** tulisan ini dibuat beberapa tahun yang lalu saat mengikuti kuliah kerja kesehatan masyarakat di Cilacap. Buseeng dah gw nerd abis emang yak!! Wakakaka..

2 komentar:

  1. Bagus bangeeeet!
    Pengen deh bisa nulis serius kaya gini..

    BalasHapus
  2. Ini tulisan jaman kuliah, hahaha.. Ada lagi sih yang lain tapi di FB. Ntar deh aku pindah satu-satu ke sini. Ada yang nulis tentang RSJ segala.

    BalasHapus